Apa yang dilakukan pemerintah ini mestinya adalah hal biasa, karena semenjak belum adanya program sertifikasi guru, sebagian besar profesi selain guru mendapatkan kesejahteraan yang jauh melebihi standar hidup layak. Ambil contoh profesi seorang dokter, baru masuk kuliah saja, seorang mahasiswa jurusan kedokteran seolah sudah mempunyai kewajiban untuk tampil elegan cenderung mewah, dan manakala lulus menjadi sarjana kedokteran, status ekonomi dan sosial mereka melambung tinggi. Atau seorang staf di kementerian keuangan, BUMN, TNI, dan POLRI. Pemerintah memberikan bermacam-macam tambahan penghasilan berupa tunjangan ini itu.
Namun, keputusan pemerintah ini menjadi sangat terasa istimewa bagi publik. Mungkin karena kesalahan iwan fals yang menciptakan lagu country yang menggambarkan seorang guru seperti si Umar Bakri, sehingga paradigma guru Umar Bakri tertanam terlalu kuat di sanubari publik. Atau bisa juga keistimewaan ini muncul karena masih adanya stigma bahwa pekerjaan seorang guru itu hanya bermain-main dengan anak-anak dari pagi hingga siang hari. Bertepuk-tepuk tangan, bernyanyi-nyanyi, dan seterusnya.
Padahal, tugas seorang guru profesional dimulai dari saat membuat landasan hukum pelaksanaan pendidikan di sekolah berupa Kurikulum, menjabarkannya menjadi silabus, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, Rencana Kerja Harian, pelaksanaan pembelajaran, melakukan evaluasi/penilaian, melakukan analisis hasil evaluasi belajar, hingga melaksanakan serangkaian kegiatan tindak lanjut. Pekerjaan itu terlihat mudah dibayangkan, tetapi jika dilaksanakan tak semudah membalik telapak tangan. Kendala utama dari serangkaian kegiatan tersebut adalah keterbatasan jam kerja guru. Satu hari efektif, dengan muatan kurikulum yang bejibun, seorang guru hanya memiliki jam kerja 35 menit x 7 atau 8 dengan jam istirahat hanya 15 menit. Dengan jatah jam kerja sedemikian tersebut berarti seorang guru bekerja mulai dari jam 07.00 - 12.45 menit. Jam kerja ini sangat tidak cukup dengan beban pekerjaan yang diberikan pemerintah.Bahkan jika pemerintah membuat undang-undang baru tentang jam kerja guru hingga sore seperti para pekerja BUMN, seorang guru tidak akan mampu menyelesaikan tugas hariannya sesuai dengan beban kerja.
Bayangkan saja, dalam sehari seorang guru kelas di tingkat dasar mengajar antara 4 - 5 mapel, taruhlah untuk membuat rencana pelaksanaan pembelajaran 1 mapel cukup 30 menit, artinya butuh waktu antara 2-2,5 jam, membuat rencana evaluasi pembelajaran setiap mapel misalnya 10 menit, 4-5 mapel 40 - 50 menit, melakukan analisis hasil evaluasi belajar 15 menit, 15 x 4 -5, kurang lebih 1 jam. Dari hitungan tersebut dapat dilihat bahwa jam kerja yang ideal adalah dari jam 07.00 - 16.30. Itu saja baru mengerjakan tugas pokok seorang guru, belum ada jatah waktu untuk melaksanakan tugas tambahan sebagai pembimbing kegiatan ekstra kurikuler. Situasi ini diperparah dengan keterbatasan kebebasan guru dalam membuat rencana pelaksanaan pembelajaran. Guru harus ekstra keras berpikir agar RPP yang mereka buat tidak dinilai salah oleh pengawas atau dianggap tidak ada oleh asesor saat tiba musim akreditasi, hanya karena tidak format dan isinya tidak sesuai dengan kehendak atasan/asesor.
Hal ini adalah keteledoran para pendekaran pendidikan, para ahli yang bekerja di pusat pemerintahan. Mereka lupa menimbang antara muatan kurikulum, beban kerja guru, dan jam kerja yang tersedia. Mereka lupa bahwa jaman ini sudah ada pada era demokrasi, tetapi guru masih diikat dengan format-format, padahal mereka mewajibkan pengembangan kreativitas dan inovasi. Bagaimana guru bisa kreatif inovatif jika ujung2nya kelak dipersalahkan dan dianggap tidak bekerja hanya karena format dianggap tidak sesuai. Mestinya ikatan-ikatan yang mengekang ini sudah tidak ada lagi, biarkan guru membuat skema pekerjaan mereka sendiri dengan ide dan kreativitas mereka sendiri, sehingga tidak ada beban dalam menentukan apa yang harus dilakukan dalam mengolah peserta didik di kelas. Sehingga waktu yang tersedia dapat dimanfaatkan secara optimal oleh guru untuk berelaborasi dan bereksplorasi dalam meningkatkan kwalitas pembelajaran tanpa dibebani rasa takut disalahkan oleh pengawas/asesor, takut pekerjaan yang mereka lakukan dengan mengorbankan waktu tenaga dan pikiran bakal dianggap sampah hanya karena tidak satu ide dengan pengawas/asesor kelak. Pemerintah cukup memberikan arah, menyediakan fasilitas, dan memberikan perlindungan yang cukup.
Kesalahan berikutnya dari pemerintah yang diwakili para ahli pendidikan adalah pengaruh negatif untuk lebih mementingkan bukti administrasi dibandingkan realitas di lapangan. Pemerintah lebih menghargai kebohongan yang didukung administrasi lengkap, daripada realitas pelaksanaan di lapangan tetapi tidak dilengkapi bukti administrasi yang cukup. Kapan pendidikan Indonesiaku akan maju??? Jika guru didorong untuk lebih sibuk berbohong "mengarang" administrasi demi sebuah nilai dari atasan. Lebih sempurna pekerjaan tukang becak yang tanpa direncana, tanpa diadministrasi, tanpa dievaluasi, tetapi selalu mampu mengantarkan konsumennya ke tujuan yang dikehendaki. Mestinya pemerintah lebih mendorong guru untuk lebih mementingkan kerja nyata di lapangan, mengajar dengan baik, berinofasi dengan bebas, menciptakan ide-ide baru dalam melaksanakan pembelajaran. Dan, hasilnya.... kwalitas pendidikan benar-benar meningkat nyata, bukan sekedar deretan angka-angka.
Lalu bagaimana untuk menilai profesionalisme seorang guru??
Lakukan penilaian secara langsung bagaimana mereka bekerja, kedisiplinannya, dedikasinya, integritasnya, untuk kemudian dipertimbangkan untuk diberi penghargaan berupa kenaikan pangkat atau penghargaan lain sebagai reward. Ini yang tidak pernah dilakukan pemerintah melalui pengawas-pengawas pendidikan. Pemerintah lebih menghargai tumpukan kertas dan deretan angka. Semakin banyak kertas bertumpuk di depan pengawas bisa semakin tinggi angka kredit yang diberikan. Tanpa dipertimbangkan bahwa tumpukan kertas itu tersaji berkat metode CTL yang dilakukan di kelas, "Catet Tinggal Lunga" (Catat Tinggal Pergi) siswa hanya diberi catatan lalu ditinggal pergi oleh guru untuk membuat administrasi yang akan disajikan kepada pengawas. Al hasil... secara administrasi kwalitas pembelajaran dinilai bagus oleh pemerintah, tetapi realitanya tidak ada kegiatan pembelajaran berkwalitas yang dilakukan, justru sebaliknya.
Demikian juga penilaian profesionalisme guru yang dilakukan melalui lomba-lomba guru berprestasi. Apa yang dilakukan oleh para penyelenggara lomba guru berprestasi yang memiliki maksud berupaya meningkatkan profesionalisme guru melalui lomba guru berprestasi selama ini hanyalah menghasilkan prestasi di atas kertas, bukan prestasi kerja sesungguhnya. Sekali lagi, prestasi guru hanya dinilai dari kemampuan menyediakan tumpukan kertas, sementara guru "peng-pengan" yang memiliki kemampuan luar biasa dalam mencerdaskan siswanya tak pernah mendapat gelar guru berprestasi hanya karena tak mampu menyediakan setumpuk kertas di hadapan juri. Sebaliknya guru biasa-biasa saja tetapi memiliki kemampuan lebih dalam menciptakan tumpukan kertas malah mendapat label guru berprestasi. Mestinya penilaian guru berprestasi adalah hasil penelusuran dan penyelidikan selama kurun waktu tertentu. Penilaian dilakukan pada rekam jejak nyata di lapangan.
Namun inilah Indonesiaku, prestasi hanya dilihat dari satu dimensi....
Semoga suatu saat kelak para ahli pendidikan Indonesia insyaf atas apa yang dilakukannya...
Kegiatan Diskusi Khasanah Islam di MI Ma'arif NU Karangasem |