Translate

Jumat, 30 Januari 2015

Pendakian Gunung Sindoro (Ekspedisi kedua bersama Anak Semata Wayangku)

     Jalur lintas Semarang via wonosobo padat merayap, semenjak berangkat dari Purbalingga hingga melewati Banjarnegara Tim berkali-kali terjebak kemacetan parah di beberapa titik. Maklum hari itu dalam masih suasana lebaran. Kemacetan paling parah terjadi saat memasuki kota Wonosobo. Kendaraan amat padat bahkan nyaris tak bergerak. 
     Hari itu, Minggu 3 Agustus 2014 Tim Pendaki Garwita PALA Purbalingga akan melaksanakan ekspedisi pendakian Gunung Sindoro di Wonosobo, Jawa Tengah. Tim beranggotakan lima orang, Azam Chamid Putra Alam, Urip Pujiono, Sabdo Mulyono, Nikita (anak perempuan semata wayangku), dan aku sendiri sebagai penunjuk jalan sekaligus driver dan harus siap menjadi porter bagi anakku nanti. 

     Menjelang keluar dari kota Wonosobo memasuki Kertek, aku sudah tak mampu lagi menahan pegal-pegal di kaki akibat berjam-jam berjibaku dengan padatnya kendaraan di jalan raya, menjejak rem, gas, kopling terus menerus sejak dari pukul 14.00 saat start dari basecamp Garwita PALA Purbalingga hingga keluar dari kota Wonosobo pukul 17.00 dengan jalur menanjak. Mobil Mitsubishi T120SS biruku kubawa masuk ke areal parkir di depan sebuah Hypermart, tujuan utamanya adalah istirahat sebentar siapa tahu nanti menjelang maghrib jalan sudah agak sepi sembari berbelanja beberapa kebutuhan logistik. Ternyata dugaanku salah, jalanan tetap padat merayap. Ahirnya dengan susah payah aku melanjutkan perjalanan menyusuri jalan terjal berliku dalam kemacetan panjang Kertek. Tim tiba di Kledung Pass pada pukul 20.00 tentu saja setelah berhenti beberapa saat di Kertek untuk menunaikan shalat
maghrib dan makan malam di sebuah warung pecel lele lamongan, makanan favoritku. Sungguh luar biasa, Purbalingga-Kledung yang biasanya ditempuh dalam waktu tak lebih dari 3 jam, hari itu harus ditempuh hingga 6 jam. 
Sementara Tim mempersiapkan segala peralatan dan logistik masing-masing untuk pendakian, aku mengurus perijinan pendakian di posko. Pukul 20.30 Tim memulai perjalanan dari posko pendakian Sindoro di Kledung. Udara sudah mulai terasa dingin. Track pertama melintasi jalan-jalan kampung,meskipun ada ojek yang menawarkan transportasi sampai ke Pos 1, tetapi tim memutuskan untuk tetap berjalan kaki saja. Habis melahap track di sela-sela kepadatan rumah penduduk, track berikutnya adalah hamparan perkebunan tembakau yang sedang subur menghijau. Beberapa kali perjalanan tim terlampaui oleh pendaki-pendaki yang memilih memanfaatkan tukang ojek. Setelah berjalan kurang lebih satu setengah jam, tim tiba di Pos I. 
Tak seperti gunung Slamet di Purbalingga, setelah sampai di Pos I, perjalanan disambut track landai dan tak terlalu menyita energi. Hanya saja jumlah pendaki yang padat hampir mirip kepadatan jalan raya Purbalingga-Kledung Pass tadi sore membuat pendakian kurang begitu nyaman. Dan yang
paling menyedihkan, ada sebagian pendaki yang kurang peduli dengan lingkungan. Sampah plastik yang mereka hasilkan dari sisa kemasan makanan dan minuman dibuang begitu saja di sepanjang jalur pendakian. Track kembali menanjak saat memasuki Pos II. Pos II berada di punggungan bukit, di pos ini sudah banyak sekali pendaki mendirikan tenda dan beristirahat. Tim memutuskan untuk beristirahat dan mendirikan tenda. 
Pendakian kali ini hampir mirip dengan pendakian kami ke Merbabu, santai dan tim bisa punya waktu istirahat yang lebih longgar. Pukul 04.00 tim kembali melanjutkan pendakian, attack summit...
Gunung bukan tempat sampah, bawa turun dan buanglah di tempat sampah!

 

Selasa, 20 Januari 2015

B.I.J.A.K.S.A.N.A

Assalamu'alaikum,wr.wb
       Dalam sebuah perjalanan dari Krangean, tempat madrasahku berada menuju Yogyakarta, ada sebuah renungan yang memberiku pelajaran amat penting. Krangean ke Yogyakarta jika dihitung secara kasar berjarak kira-kira 250 an kilo meter. Apalagi kala itu rute yang ditempuh berputar lewat Purworejo, artinya jarak tempuh makin jauh dan waktu tempuh pun makin lama. Menghitung jarak tempuh dan waktu tempuh, ada beberapa waktu sholat yang bakal terganggu. 
       Pada saat kendaraan mulai bergerak meninggalkan madrasah di Desa Krangean, Kec. Kertanegara, Kab. Purbalingga, kepala madrasah sebagai pimpinan rombongan menyampaikan bahwa perjalanan akan memakan waktu dan beberapa waktu shalat akan terganggu, sehingga beberapa shalat akan dilakukan dengan cara dijamak sekaligus qashar. Ada dua waktu shalat yang dikerjakan pada salah satu waktu, dan kedua shalat tersebut diringkas. Hal yang sudah biasa... tetapi sesungguhnya dari keadaan itu ada sebuah pelajaran maha penting yang kutemukan.
       Allah Sang Causa Prima... Sang Penguasa Jagat Raya... Sang Hakim yang menentukan baik-buruk, halal-haram,dan surga-neraka, masih memiliki sifat Maha Bijaksana. Shalat, tolok ukur utama amal ibadah manusia, yang kelak akan ditimbang pertama kali saat menghadapi hisab. Shalat sebagai kewajiban utama umat Islam. Tetapi Allah masih berkenan memberikan kemudahan, memberikan keringanan pada situasi-situasi tertentu. Dalam situasi tertentu, Allah tidak menuntut umat Islam untuk melaksanakan aturan shalat secara saklek menurut syarat wajib dan sunnahnya. Dalam situasi tertentu, Allah dengan Bijaksana memberikan keringanan luar biasa. Ketika berada di perjalanan, ketika sakit, ketika uzur, kamu tidak perlu repot mencari air wudlu jika tak memungkinkan, cukup dengan tayamum. Shalat bisa dilakukan dimana saja bahkan di dalam kendaraan yang sedang bergerak, di tempat duduk, di pembaringan, tanpa harus melakukan gerakan-gerakan shalat, cukup dengan isyarat. Waktunya boleh digabungkan dengan waktu yang lain, bahkan jumlah raka'atnya boleh diringkas. Sungguh Islam itu agama yang mudah. 
       Lalu, jika Allah saja Sang Causa Prima... Sang Penguasa Jagat Raya... Sang Hakim yang menentukan baik-buruk, halal-haram,dan surga-neraka, masih memiliki sifat Maha Bijaksana untuk memberikan kemudahan bagi umat Islam dalam menjalankan kewajiban mereka...
       Mengapa kita sesama manusia justru terkadang melebihi batas kemanusiaan kita. Bahkan seolah melebihi kuasa Allah. Enggan untuk bersikap bijaksana, mengedepankan sikap super tegas yang cenderung kaku. Jika Allah saja masih berkenan memberikan kemudahan-kemudahan bagi umat Islam dalam melaksanakan aturan-Nya, mengapa kita terkadang bersikap arogan dan kaku dalam mengawal pelaksanaan aturan yang dibuat oleh sesama manusia, bahkan seolah aturan-aturan itu menjadi tolok ukur halal-haram, dan surga-neraka. 
       Mengapa kita sesama manusia enggan untuk saling meringankan urusan dunia? Padahal sesungguhnya Allah pun menjamin memberikan balasan bagi orang-orang yang mau meringankan urusan sesamanya.
Dari Abu Hurairah ra, Nabi SAW, bersabda: “Barang siapa yang melepaskan satu kesusahan seorang mukmin, pasti Allah akan melepaskan darinya satu kesusahan pada hari kiamat. Barang siapa yang menjadikan mudah urusan orang lain, pasti Allah akan memudahkannya di dunia dan di akhirat. Barang siapa yang menutupi aib seorang muslim, pasti Allah akan menutupi aibnya di dunia dan di akhirat. Allah senantiasa menolong hamba Nya selama hamba Nya itu suka menolong saudaranya”. (HR. Muslim, lihat juga Kumpulan Hadits Arba’in An Nawawi hadits ke 36).
       Jika Allah saja masih berkenan memberikan kemudahan untuk urusan akhiratmu... mengapa kamu memilih menimbulkan kesulitan bagi orang lain untuk urusan dunia...
Wassalamu'alaikum, wr.wb.

 


Rabu, 14 Januari 2015

Pendakian Gunung Slamet (3432mdpl)

(Pendakian Perdana Anak Perempuan Semata Wayangku)

Mentari sudah mulai condong ke sisi barat. Jam di arlojiku menunjuk angka 14.20. Suasana pos pendaftaran di jalur pendakian gunung Slamet di desa Bambangan belum terlalu ramai, maklum meskipun sudah masuk bulan Agustus tetapi masih tanggal 9 Agustus 2013. Setelah berbasa-basi dengan petugas tiket dan meninggalkan kartu identitas, aku mengumpulkan tim kecilku di belakang mobil yang ku parkir tidak jauh dari gardu tiket. Hari itu,  Jum'at, 9 Agustus 2013 aku bersama Sabdo Mulyono, Urip Pujiono, Ibu Yayan, dan anak perempuanku semata wayang Nikita Sukma Mulia Pradani akan melakukan pendakian ke gunung Slamet. Pendakian perdana untuk Nikita, anakku di gunung tertinggi ke dua di pulau Jawa setelah Mahameru. Berdiri megah diantara kabupaten Tegal, Banyumas, dan Purbalingga dengan ketinggian 3432 mdpl, gunung Slamet menyajikan tantangan luar biasa untuk para pendaki. 
Setelah semua peralatan mendaki melekat erat di tubuh, diawali dengan do'a bersama, pukul 15.30 pendakian dimulai. Track pertama yang harus dilalui adalah perkebunan penduduk yang terbentang luas, sejuk, cantik, dan menyajikan panorama nan indah.
Pendakian langsung disambut track menanjak saat memasuki vegetasi tumbuhan pinus. Perjalanan dari basecamp Pondok Pemuda hingga Pos I Pondok Gemirung memakan waktu hampir 3 jam perjalanan. Maklum ini pendakian perdana buat anak perempuanku. Aku tak mengutamakan kecepatan, mengingat kondisi fisik anakku tentu belum terbiasa, apalagi sekali ikut mendaki gunung langsung melahap jalur pendakian gunung Slamet yang ekstrim.
Perjalanan langsung diteruskan dari Pondok Gemirung yang sudah padat oleh pendaki. Track terjal dan licin di sela-sela pepohonan hutan tropis menjadi menu utama sepanjang perjalanan. Mentari mulai tenggelam di ufuk barat, gelap mulai menyelimuti. Cahaya lampu senter menjadi andalan menembus lebatnya hutan gunung Slamet.
Jarak antar Pos di jalur pendakian gunung Slamet amat jauh. Untuk mencapai Pos II biasanya harus menempuh perjalanan 2 - 3 jam dengan track menanjak jarang mendapatkan bonus track landai, bahkan bisa dibilang hampir tidak ada. Pukul 22.30 tim sudah melewati Pos II mendekati Pos III. Kondisi fisik Nikita nampak mulai turun drastis, berkali-kali ia duduk kelelahan, bahkan terkadang tas punggungnya dijatuhkan. Untuk mengurangi beban, beberapa botol air mineral dan perbekalan yang berat aku ambil alih, praktis ia hanya membawa bekal yang ringan-ringan dan air mineral sekedarnya saja. Menjelang Pos III, Nikita menjatuhkan diri, tidur tengkurap setelah sebelumnya beberapa kali mencoba merangkak menaklukkan sulitnya medan. Semangatnya masih ada, agar dapat melanjutkan perjalanan seluruh perbekalan aku ambil alih. Nikita bisa melanjutkan perjalanan walo nampaknya tidak begitu nyaman. Perjalanan makin lambat, menjelang Pos III Pondok Cemara Nikita sudah semakin sering merangkak.
Kondisinya membuat ciut nyaliku. Pukul 24.00 tim tiba di Pos III Pondok Cemara. Kuputuskan beristirahat total untuk memulihkan kondisi fisik tim, terutama Nikita. Kebetulan di Pos III Pondok Cemara kontur tanah landai dan banyak tempat untuk mendirikan tenda, apalagi biasanya tak ada pendaki yang berminat bersitirahat untuk waktu yang lama apa lagi mendirikan tenda di Pos III sampai Pos IV, tempat favorit mereka biasanya di Pos V Samyang Kendit dan Pos VII Samyang Jampang, karena di kedua pos tersebut terdapat shelter yang cukup nyaman untuk beristirahat.
Udara mulai terasa dingin menusuk tulang. Hampir 2 jam kami beristirahat ditemani api unggun. Namun kondisi fisik Nikita tak membaik, pukul 02.00 kuputuskan untuk turun ke Pos I Pondok Gemirung agar kondisi Nikita tidak semakin memburuk. Di Pos I terdapat shelter dan kita bisa mendirikan tenda di dalam shelter, sehingga dapat mengurangi dinginnya udara.
Berjalan turun biasanya bisa ditempuh dengan waktu yang lebih singkat. Pukul 04.00, tim sudah kembali berada di Pos I Pondok Gemirung. Karena tenda doom hanya ada 1 buah, maka bu Yayan dan Nikita beristirahat di dalam tenda, sementara aku, Sabdo, dan Puji tidur di luar tenda. Meskipun udara tetap terasa super dingin, tetapi dinding shelter cukup mampu menahan hembusan angin dan siraman embun sehingga mengurangi penderitaan.